Enam tahun sudah Ayah tak berada
disampingku, tak ada lagi panggilan ayah bagiku, tak ada lagi teriakan ayah
memarahiku, tak ada lagi tawa ketika melihat Wak kaji Show, tak ada lagi
shalawat nabi yang ayah lantunkan ketika aku menangis,
Kisah ini dimulai ketika aku
dilahirkan oleh seorang ibu bernama nur dan ayah bernama huda. kami adalah
keluarga sederhana. Ayahku adalah seorang pekerja percetakan di sebuah
Perusahaan Bus di Kota. Ibuku adalah seorang Ibu rumah tangga yang pandai
mencari uang. Aku adalah anak pertama yang dilahirkan mereka. Buah hati mereka
yang sangat berharga bagi mereka.
Kami tinggal di sebuah rumah
kecil yang berdinding kayu. Rumah itu bukan milik ayah dan ibu. Rumah itu
dipinjamkan oleh Perusahaan karena pengabdian ayah yang mulai usia remaja
hingga menginjak usia yang hampir menua.
Setiap ayah pulang kerja, ibu
menyiapkan makanan dan kopi untuk ayah dan aku selalu menunggu kedatangan ayah
di depan pintu rumah berharap ayah mengajak jalan jalan seperti biasanya.
Lalu tiba-tiba
"assalamu'alaikum", dibalik pintu ayah mengucapkan salam dan bersikap
sumringah. Akupun bergegas menyambut kedatangan ayah dengan memeluknya. Lalu
ayah memberitahukan ku bahwa hari ini aku akan diajak untuk menonton bola.
Entah kenapa akupun mengiyakan tanpa harus tahu apa maksud ayah. saat itu
usiaku masih berumur 4 tahun, di usia seperti itu seorang anak kecil takkan
memperhitungkan kemana ia pergi yang terpenting keluar dengan ayah,
mengahabiskan waktu berdua dan bermanja manja dengan ayah karena ayah pasti
mengiyakan semua permintaan anaknya. aku juga sangat heran kenapa ayah jarang
sekali mengajak ibu untuk pergi jalan-jalan. apa mungkin karena sepeda ontel
kita yang sudah merapuh yang hanya bisa dinaiki oleh 2 orang. itu masih menjadi
rahasia.
Sesampainya di stadion, ayahpun
menonton permainan sepak bola dengan antusias sekali. Akupun hanya terduduk
diam. bukannya aku tidak senang tetapi dengan sifatku yang tidak bisa terbuka
untuk umum dan pemalu ku yang sangat luar binasa. aku hanya bisa melihat ayah
yang menggeram, teriak dan entah apa yang ayah katakan.
Selesainya pertandingan ayahpun
pulang dengan membelikanku "Kapas", mungkin ayah mengira aku bete
sepanjang pertandingan tadi atau mungkin ayah ingin aku tersenyum untuk kedua
kali. entahlah ayah adalah pria yang susah di tebak.
Saat malam tiba, ayah dengan
gagahnya mengajak ibu dan aku untuk makan diluar. akhirnya kesempatan kita
bertiga keluar rumah. Karena rumah kami berada dijantung kota, warungpun banyak
yang berjejeran di sebelah rumah kami. Jadi Kami tak perlu repot menyusahkan si
ontel untuk membawa kami jalan-jalan keluar rumah.
Ayah dan ibu menggandeng ku
keluar rumah, Sepertinya sudah lama Ayah tak mengajak ibu keluar atau aku saja
yang lupa kapan ibu aku ayah jalan jalan keluar atau makan bareng diluar.
Sebenarnya sifat ayah yang suka "ngewarung" itu sudah dari dulu, tapi entah malam ini
mungkin hari pernikahan mereka atau ayah dapat gaji tambahan atau aku punya
adek?? ah sudahlah yang terpenting kita sekeluarga bisa menyantap hidangan enak
diluar bersama-sama. setelah selesai makan malam diluar yang hanya berjarak
lima langkah dari rumah, ayah dan ibupun mengobrol. aku yang tidak faham apa
maksud mereka hanya bisa menyenangkan hatiku sendiri dengan berlarian kesana
kemari. Beberapa menit kemudian kami memutuskan untuk pulang. Akupun digendong
ayah, dan sejenak aku tertidur. ayah memang jarang sekali mendongengiku ketika
tidur tetapi ayah selalu melantukan shalawat nabi untukku. mungkin ayah
berharap anaknya selalu diberkati shalawat nabi ketika dimanapun ia berada.
Keesokan harinya aku bangun dan ayah
sudah tidak ada dirumah. ayah sudah berangkat kerja pagi-pagi mengingat kerja
ayah yang jauh dari rumah dan beliau hanya mengendarai si ontel. tiba-tiba Ibu ngedumel
tanpa aku tahu apa maksud ibu.
"Ibu aku mau maen ke rumah
mama ya ..."
"iya hati-hati, ibu juga
ada urusan, kamu disana dulu ya sebentar"
Sejak kecil aku punya ibu dua
"Ibuku dan Mamaku". Mama adalah tetanggaku yang paling baik sedunia.
dia juga punya dua anak perempuan yang sangat baik. Setiap hari aku tidak
pernah dirumah aku selalu dirumah mama, ikut antar jemput anaknya, ikut masak
dengan mama hingga ibuku sendiri saja heran kenapa anaknya sendiri tidak betah
dan akrab dengan ibunya.
Ketika senja telah tiba, aku
mendengar suara bunyi mobil diluar. Aku berlari keluar rumah dan melihat apakah
dugaanku benar. ternyata memang benar terdapat sebuah mobil pick up yang sedang
membawa sepeda motor diatasnya, perasaan senang ku mulai meledak-ledak rasanya
si ontel ku kini berubah seperti tokoh di sailor-moon dulu iya dari ontel
menjadi motor. Aku mulai mengira kemarin saat makan malam bersama, ayah dan ibu
merencanakan ini semua. Ibu juga merasa kasihan sama ayah yang harus mengayuh
sepeda berpuluh puluh meter dari rumah apalagi jikalau ibu punya kepentingan,
pasti ayah memilih ibu memakai si ontel daripada dipakai untuk ayah bekerja.
ayah memang super hero kami dan ibu adalah istri yang paling romantis meski
tidak secara tersurat. ibu selalu memerhatikan ayah secara diam-diam.
*****
Umurku mulai bertambah, genap
usiaku untuk masuk sekolah Taman kanak-kanak. untuk pertama kalinya aku
mengahabiskan waktuku dengan teman baru dan ditemani ibu. Entah apakah aku bisa
berada dilingkungan baru dengan pemalu ku yang sangat besar dan ditemani ibu
setelah sekian lama ayah yang menemaniku. Ibupun menggandeng tanganku ,
menuntunku ke kelasku dan membisikkan ku aku harus berani, tidak boleh malu dan
tidak boleh boob di celana (ups).
Hari demi hari aku lewati, tak
setiap hari Ibu mengantarkanku dengan Si ontel. kadang kala aku harus berjalan
sendirian menuju ke sekolah. kata ibu aku harus mandiri, Ibu masih banyak
pekerjaan lain buat sekolah ku nanti. aku tidak sebegitu faham dengan Ibu,
karena ayahpun jarang menceritakan sifat ibu, yang paling sering cerita itu
ibuku tentang sifat ayah. Ibu memang ibu rumah tangga tetapi beliau juga
pebisnis diam-diam, kadangkala ibu menjadi seorang tukang parkir mengingat
didepan rumahku adalah latar yang luas dan dijadikan tempat parkir angkot sejak
dari dulu. Ibu pernah bercerita jikalau ibu menabung buat beli istana. meskipun hari hari ibu sibuk dengan
menghitung setoran angkot ibu juga tidak pernah lupa memasak untuk ayah agar
ayah tidak makan diluar terus. ibu juga tidak pernah lupa untuk mendidikku. Ibu
pernah bilang kalau ibu adalah anak terpandai dikelasnya. ibu ingin aku juga
seperti itu, maka dari itu setiap hari ibu mengajarkanku membaca dan menulis.
karena kegigihan ibu yang sangat antusias mengajariku akupun bersemangat untuk
bersekolah dan aku sudah pandai mebaca dan menulis. Lalu Ibu memutuskan untuk
sekolah TK ku hanya satu tahun. akupunn juga merasa bosan harus menyanyi
sepanjang hari, main malan, main ayunan. begitulah.
Suatu hari mereka mengajakku
pergi jalan-jalan aku kira ayah akan memutuskan jalan-jalan ke alun-alun kota
atau melihat pasar malam atau hanya menghabiskan bensin. ternyata dugaanku
salah, ayah mengajakku ke sebuah istana yang setengah jadi.
"Lel, ini istana yang ibu
ceritakan??" kata ibu dengan perasaan bahagia dengan tatapan matanya yang
seolah olah juga bahagia dan berucap rasa syukur yang tak terhingga. akupun
melepas gengaman ibu dan melihat calon istana yang akan ku tempati nanti.
besar,berdinding batu bata, kamarnya tiga dan kali ini aku akan punya kamar
sendiri, kamar mandi dua brkeramik tidak seperti kamar mandi yang aku pakai setiap
hari masih bersemen dan jelek. aku pun membayangkan apa yang akan terjadi
dirumah ini, mungkin aku juga bisa bermain sepak bola disini tidak perlu keluar
rumah, mungkin aku juga bisa mengajak teman temanku untuk bermain petak umpet.
Ayahpun menggendogku tanpa tahu
anaknya sekarang sudah besar dan berat dan akan menyamainya. Meskipun ayah
tidak mengatakan sepatah kata apapun, dalam pelukannya terasa sekali jantung
hatinya berddegup kencang mengatakan bahwasannya beliau menghadiahkan ini
untuknya, untuk putri kecilnya. Selang beberapa menit kemudian ayah dan ibu
memutuskan untuk pulang. sebenarnya aku tidak ingin pulang karena pada saat itu
disekitar rumahku ramai dengan anak kecil. Imajinasiku pun mulai mebisikanku
akan hal indah yag akan terjadi di istana baru ini. tetapi ayah memaksaku
pulang dan menjanjikanku untuk melihat sesuatu.
Akupun bertanya-tanya kembali
selanjutnya kejutan apa yang ayah ibu berikan. apakah kuda poni atau punya
adek? jika kalian tahu obsesi punya adik masih ada, karena sendiri itu tidak
enak. Sesampainya dirumah ibu dan ayah mendirikan sholat seolah mereka
memanjatkan beribu-ribu syukur kepada yang maha kuasa. akupun yang belum hapal
doa shalat hanya bisa disamping ibu berdoa ala kadarnya tanpa tahu dengan siapa
aku berdoa.
Setelah selesai sholat, kami
sekeluarga keluar rumah dan ternyata ayah mengajakku untuk melihat sirkus.
Akupun senang tak karuan, iya meski senangku hanya bisa ditunjukkan di dalam
hati karena sekali lagi ketika dimuka umum aku tidak bisa berekspresi (malu
coy). Pertunjukkanpun selesai, aku mulai merangkum hari itu sebagaiu hari
istimewa sampai rangkuman ku terbawa ke mimpi dan tak sadar aku dipangkuan
ayah. begitu nyaman beliau menggendongku, menimangku, membelai rambutku. aku
tahu ayah tak pandai berbicara denganku, ayah dengan sifat pendiam dan
dinginnya itu mempunyai sifat kehangatan yang orang-orang tak pernah duga. itu
ayahku, gagah dengan kumisnya, gagah dengan ketegasannya dan garang ketika ayah
marah tapi lembut ketika kau berada dalam belaiannnya.
5 bulan telah berlalu, tiba
saatnya aku akan bertpisah dengan rumah berdinding kayu ini. aku tahu mungkin
rumah ini adalah rumah pertamaku menginjakkan kaki, rumah pertama aku menangis,
rumah pertama aku bertemu dengan ibu, rumah pertama aku berdiri. begitu banyak
kenangan yang tergambar dirumah ini tapi apapun itu kami harus pindah rumah
karena rumah ini bukan milik kami, rumah ini hanya pinjaman perusahaan. begitu
juga dengan tetangga lain yang notabene adalah pekerja di perusahaan bus itu,
mereka juga dipinjami dan akan ada waktunya mereka akan pindah.
Akupun bergegas membereskan
semua mainanku, pakaianku dan benda-benda yang aneh yang aku koleksi. setelah
semuanya siap, Ibu aku dan ayah mengendarai sepeda motor sedangkan barang
barangku dibawa oleh supir angkot. Entah apa yang ku rasakan saat itu, apakah
harus sedih atau senang atau sedih senang yang jelas istana ku telah berdiri
kokoh dan akhirnya kami mempunyai rumah sendiri, ini bukan rumah ini Istana.
Sesampainya disana, ayahpun
menggenggam erat tanganku seakan akan Raja dan seorang putrinya hendak memasuki
istananya dengan sambutan dari para rakyatnya yang bersorak-sorak. perlahan
tapi pasti ayahpun membuka pintu dan berkata "Assalamu'alaikum" .
Inilah rumah yang dinanti-nanti ayah dan ibu, berkat usahanya ayah dan gigihnya
ibu, mereka telah membangun Istana ini. Akupun melepaskan genggaman tangan ayah
dan berlari kesana kemari, rumah ini memang besar, sangatlah besar. akupun
mulai berimajinasi akan bermain sepak bola, petak umpet, atau bisa konser dadakan.
Ayah dan ibu memberes barang
barangnya dengan sangat antusias, tetangga barupun membantu kami menurunkan,
sebagian dari mereka mulai berjabat tangan dengan kami. Mungkin mereka juga
sudah merindukan akan hadirnya tetangga baru mengingat masih ada bangunan yang
setengah jadi disekeliling. Jikalau ditelusuri, tak banyak rumah yang sebesar
rumahku rata-rata rumah mereka sederhana, tetapi rumahku mewah seperti milik
seorang pengusaha besar.
Apapun itu, kini aku bahagia
meskipun harus jauh dari mama jauh dari anak2mama mbak sandra dan mbak reni.
akupun harus menerima dengan lapang dada. aku juga harus bahagia karena sudah
lama memang orangtua ku memimpikan rumah mereka sendiri.
Terima kasih ayah ibu atas
istana yang kalian dirian untukku, putri kecilmu.
Setelah selesai melihat sekitar,
aku ayah dan ibupun duduk disofa depan pertama kalinya. Ayah dengan diamnya
terlihat sedang memahami isi rumahnya, mungkin ayah berimajinasi akan ada
banyak verita disini bersama putri kesayangannya dan istri tercintanya.
"yah, bagus rumahnya
.." cetus aku membubarkan lamunan ayah.
"Iya," jawab ibu. Lagi
dan lagi ayah tak menjawab apa yang ku katakan, entah sedingin apa beliau
apakah ayah memag tak suka berbicara dengan anaknya hanya tatapan matanya yang
mampu berbicara.
"bu, gimana sekolahku? kan
jauh dari sini"
"oh iya, nanti
dianterin pak narko aja"
"naik becak ke
sekolah bu?"
"iya,"
"terus SDku dimana?
ngajiku dimana?"
"iya itu gampang kan
masih lama?"
"hmm ... ayah, ayo
jalan-jalan."
Dan lagi tanpa mengatakan
iya dan tidak, ayah mengambil kunci motor dan bergegas keluar rumah sambil
menggandeng tanganku. ayah ku selalu begitu tak pernah ada satu kata yang terucap.
terlalu dingin untuk seorang anak usia 6 tahun. meskipun begitu aku tahu ayahku
tetap sayang aku.
TO BE CONTINUE ..... :D